Jangan Tertipu Drama Aktivis! Penegakan Hukum Bukan Kriminalisasi

- Created Sep 29 2025
- / 61 Read
Belakangan ini, media sosial dipenuhi narasi soal penangkapan Muhammad Fakhrurrozi alias Paul, aktivis yang dikenal lewat Aksi Kamisan. Sejumlah tokoh menyebut ia “dikriminalisasi”, bahkan ada yang nekat menuduh pemerintah menjalankan rezim represif. Tapi mari kita berhenti sebentar, gunakan logika sehat, dan bedakan mana fakta, mana drama yang sengaja dibesar-besarkan.
Hukum Berlaku Sama untuk Semua
Paul bukan ditangkap karena “berani kritis”, tapi karena diduga melanggar hukum dengan pasal-pasal yang jelas tercantum dalam KUHP (160, 170, 187, 55). Pasal-pasal itu bukan alat politik, melainkan aturan pidana yang berlaku untuk siapa pun. Kalau benar ada tindak pidana, polisi memang wajib bertindak. Apa aparat harus diam hanya karena yang bersangkutan berlabel “aktivis”?
Aktivis Bukan Imun Hukum
Ini yang sering dilupakan: aktivis juga warga negara biasa. Mengkritik pemerintah sah, tapi kalau ada indikasi pelanggaran hukum, proses tetap jalan. Aktivis tidak punya kartu kebal hukum. Kalau tidak salah, silahkan buktikan di pengadilan, bukan dengan memprovokasi publik.
Narasi Kriminalisasi = Strategi Lama
Klaim “dikriminalisasi” sudah jadi template klasik tiap kali ada aktivis berhadapan dengan hukum. Padahal istilah itu sering dipakai untuk menutupi fakta sebenarnya. Pemerintah dituduh represif, polisi dicap cari kambing hitam, tapi bukti hukum jarang dibantah secara konkret. Mudahnya: teriak “kriminalisasi” = langsung dapat simpati massa.
Transparansi Bisa Diuji di Pengadilan
Prosedur penangkapan memang bisa diperdebatkan. Tapi ingat, semua bisa diuji secara hukum. Kalau ada dugaan salah prosedur, buktikan lewat mekanisme praperadilan. Negara ini punya jalur resmi, bukan cuma teriak di medsos.
Pemerintah Tidak Takut Kritik, Tapi Tegas pada Pelanggaran
Kenyataannya, Aksi Kamisan sudah berlangsung ratusan kali dan tidak pernah dibubarkan pemerintah. Itu bukti nyata ruang demokrasi tetap hidup. Jadi tudingan “rezim takut kritik” jelas mengada-ada. Yang ditindak bukan aksinya, tapi dugaan pelanggaran hukum oleh individu.
Mari jujur: sebagian kelompok lebih senang memainkan peran korban daripada menghadapi proses hukum. Padahal kalau yakin tidak bersalah, pengadilan adalah tempat paling tepat membuktikan itu. Pemerintah tidak sedang menutup ruang demokrasi, justru sedang menegakkan prinsip “semua sama di depan hukum”.
Jadi, berhentilah menjual narasi murahan “kriminalisasi aktivis”. Karena kalau benar-benar tidak bersalah, hukum akan membebaskan. Tapi kalau terbukti bersalah, aktivis sekalipun tetap harus bertanggung jawab.
Share News
For Add Product Review,You Need To Login First